****
Keindahan
alam Gunung Bromo serasa membawa kita menerobos sekat-sekat masa silam yang
nyaris terlupakan. Tetapi, orang-orang Tengger punya cara sendiri untuk
melestarikan warisan leluhur.
Meski
jaman telah berubah, dan ribuan hingga jutaan pendatang berdatangan, namun
sikap keaslian warganya tetap utuh; ramah, jujur dan sederhana.
Begitu
kuatnya kehidupan spriritual suku ini, sehingga tidak gampang terjadi
pergeseran nilai-nilai instrumental. Nilai-nilai budaya itulah yang menjadikan
kawasan Bromo sebagai agenda tujuan wisata masyarakat dunia.
Bromo dan
Suku Tengger, ibarat dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Maklum saja,
sejak terjadinya asimilasi budaya (dari Hindu ke Islam), banyak penganut Hindu
Majapahit memilih bermukim ke Bali dan Banyuwangi (Suku Osing). Sisanya, tentu
saja ke Tengger. Di sini mereka membentuk sebuah koloni baru. Dan, Bromo pun
masuk dalam hitungan mereka. Bromo milik mereka.
Dengan
masuknya budaya lama, keindahan alam gunung yang terletak di Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur, itu tetap terjaga kelestariannya. Beberapa orang malah
beranggapan, Bromo memiliki daya tarik magis cukup kuat. Unsur itu ada karena
adat istiadat dan nilai-nilai budaya warisan leluhur yang masih dipegang erat
oleh masyarakat Tengger.
Sebagai
buffer zone (penyangga kawasan), Suku Tengger telah menjaga dan melestarikan
alam dengan sebuah kearifan lokal jauh sebelum ditetapkannya tempat tersebut
sebagai Daerah Taman Nasional Bromo-Tengger- Semeru (NTBS) pada tahun 1982.
Kepala
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kabupaten Probolinggo, Tutug Edi
Utomo berujar, begitu eratnya hubungan antara masyarakat Tengger dengan
penunggu Gunung Bromo, membuat segala pengaruh dari luar bisa diterima begitu
saja. Semua harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ketua adat suku
Tengger, atau biasa disebut Dukun.
“Budaya
dan kearifan lokal seperti benteng. Tidak gampang kita mau melakukan sesuatu di
wilayah Tengger. Harus seizin penunggu Bromo melalui konsultasi (komunikasi)
melalui dukun. Bila mendapat izin kita boleh mengadakan atau membuat
sesuatu di sana. Tapi kalau ditolak, kita tidak boleh memaksa. Namanya sebuah kepercayan,
apapun kita harus hormati,” katanya.
Pasca
erupsi 2011 lalu, lanjut Tutug, Pemerintah Kabupaten Probolingo berniat
melakukan pembenahan fasilitas di kawasan wisata Bromo yang mengalami keruskan.
Namun karena terkendala izin, revitalisasi itu batal direaliasikan. “Segala
sesuatu harus melalui izin, sekalipun itu menggelar resepsi pernikahan atau
membangun rumah,” ungkapnya.
Berangkat
dari menyatunnya alam dan budaya itulah, pemerintah mengambil peran untuk
menyelamatkan dan memelihara kearifan lokal tersebut dengan menetapkan Tengger
sebagai kawasan Taman Nasional.
Penetapan
Bromo Tengger Semeru menjadi taman nasional bermakna, bahwa budaya masyarakat
Tengger perlu dilestarikan dan dikembangkan menjadi lebih sempurna,
terutama adat istiadat dan nilai-nilai budayanya yang relevan dengan kemajuan
zaman.
Dengan
masuknya wisatawan ke Tengger, tidak mustahil akan terjadi pergeseran nilai
nilai instrumental. Namun, apabila terus diadakan pembinaan sikap mental dengan
tetap berpegang kepada nilai tradisional yang relevan, maka pergeseran
nilai-nilai instrumental itu akan dapat dicegah. “Sekaligus dapat
mempertahankan sifat keasliannya,” tutur Tutug.
Banyak
pihak menyimpulkan, bahwa selama ini yang mampu menjaga keasrian kawasan
nasional Bromo-Semeru bukanlah perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah.
Namun sejatinya, yang mampu memberi perlindungan justru kearifan lokal
masyarakat Tengger itu sendiri.
KEBUDAYAAN SUKU TENGGER
Kasndo
adalah upacara tahunan yang selalu diselenggarakan oleh masyarakat asli
Tengger. Upacara ini selalu diadakan setiap bulan Desember atau Januari. Kasodo
atau Kasada merupakan upacara ucap syukur yang dilakukan oleh masyarakat
Tengger kepada Sang Hyang Widi. Dengan adanya upacara ini, masyarakat sekitar
meminta panen yang melimpah dan kesembuhan untuk segala macam penyakit. Di sisi
lain, mereka memberikan persembahan kepada dewa yang dilempar ke kawah Gunung
Bromo.
Orang-orang yang memberikan persembahan tersebut harus turun ke tebing dan sekitar kawah untuk menangkap persembahan dari bawah, hal ini adalah simbol dari sebuah berkah dari Yang Mahakuasa.
Perebutan persembahan ini pula menjadi daya tarik interaktif, yang
menantang dan menakutkan, karena cukup bahaya jika terpeleset dan jatuh ke
dalam kawah.
Nama : Suci Nur Jannah
Absen : 30
Kelas : XI IPA 3
http://www.eastjava.com/books/bromo/ina/tourism_cultural.html
http://www.lensaindonesia.com/2012/09/18/eksotika-bromo-dalam-balutan-suku-tengger.html
No comments:
Post a Comment